Womankind: Indonesia Issue
Di tengah kekacauan pandemik coronavirus yang banyak merubah wajah dan perilaku dunia, Womankind Magazine, terbit. Majalah yang selalu terbit tanpa iklan ini, di edisi kai ini mengusung tema besar Indonesia. Selain mengupas tentang Indonesia, dalam edisi ini saya berkesempatan menyumbangkan foto dan tulisan untuk tiga artikel di rubrik Letter from Jakarta.
Ketika mendapat penugasan ini, sempat terpikir untuk memfiturkan sejumlah wanita dengan nama besar dan juga tidak terlalu asing di telinga. Mulai dari pengusaha, tokoh sosial, atau seniman. Atau wanita tajir-mlintir yang sering dibincangkan. Tetapi setelah melalui beberapa diskusi rasanya nama yang sering sebagian orang jumpai di berita maupun media sosial itu terasa menjadi kurang menarik karena sebagian besar orang sudah paham dan mudah dijumpai di halaman jagat maya.
Akhirnya tiga nama ini muncul baik karena alasan tertentu juga pandangan pribadi, tentu saja.
“My dream is for my children to have a better life than me, both materially and a better education”- Pipit Pitriasih, a motorcycle taxi driver (gojek driver)
Di kawasan Jakarta Selatan, di sebuah rumah kontrakan, saya menjumpai Mbak Pipit bersama dua dari tiga putranya. Selain ikut berputar-putar dengan sepeda motornya, banyak juga yang kita bincangkan hari itu. Lebih tentang cerita hidup Mbak Pipit.
Menjadi ‘single parent’ saat dia memutuskan bercerai dengan suami merupakan bagian kisah pilu hidupnya. Tak ada pekerjaan, penghasilan apalagi. Banyak pekerjaan sudah dia coba lakoninya. Dari menjual kopi, es mambo, atau pembantu rumah tangga. Pun rasanya tidak membuat hidupnya bertambah baik.
“Pernah ketika berjualan kopi, dari pagi sampai malam, saya tidak mendapatkan uang, karena memang tidak ada yang beli”
Rasa putus aja terkadang merayap menghampiri. Namun dia beruntung tidak sendiri, ada teman-teman yang mampu membuatnya untuk berusaha tegar. Ditengah beratnya menjadi ibu sekaligus penopang kehidupan keluarganya. Hingga akhirnya penghasilan dari pekerjaannya sebagai ojek online di Ibukota bisa memberikan penghasilan yang lumayan. Mampu membayar kontrakan, makan, dan pendidikan putra-putranya. Tidak hanya itu, dengan komunitasnya sesama ‘driver’ dia banyak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri.
“No matter how busy you are at work, do not forget the family. Because I think thatโs an achievement for a woman, especially a mother”
– Rima Novianti, Commercial Director PT Pelabuhan Indonesia II
Siapa yang menduga seorang gadis kecil yang gemar keluar masuh hutan juga mencari ikan dan udang di bantaran Sungai Mahakam ini akan meniti karir cemerlang di dunianya yang begitu maskulin sekarang ini. Siapa pula yang akan berfikir wanita yang awalnya melamar menjadi sekretaris ditengah sulitnya lapangan pekerjaan paska krisis ’98, kini duduk di jajaran dewan direksi yang mengharuskannya berfikir keras bagaimana berstrategi dan menjalankan bisnis perusahaannya ke depan. Ditengah mewabahnya virus corona yang banyak merubah tatanan yang ada.
Hidup memang kadang penuh rahasia. Dan bagi seorang Rima Novianti perjuangan dan kerja keras bukanlah hal yang baru. Sebagai ibu bagi anak-anak, sekaligus tulang punggung keluarga, dan juga jajaran atas salah satu perusahaan pelabuhan terbesar di tanah air, harus dilakoninya secara bersamaan. Banyak usaha serta pengorbanan tentu saja, dan kadang pedih. Melompat-lompat dari sudut satu ke sisi yang lain. Berpindah dari peran satu ke yang lain. Sayangnya ini bukanlah panggung sandiwara yang kadang penuh sorak juga tepuk tangan pemirsa.
Itu tadi sekelumit kisah hidupnya yang saya rekam untuk keperluan editorial, diantara kunjungan dan kesibukannya membuat kue-kue yang cantik juga lezat. Salah satu hobinya yang begitu serius dia tekuni.
“Today, with the advancement of technology and social media, many Indonesian women can be productive even while at home looking after their children. This is an extraordinary opportunity that was not available to women in earlier times. Stay at home but still be able to do business!”- Chacha Binahati, a self-employed.
Bekerja sedari muda, itu yang dilakukan wanita kelahiran Pulau Bangka ini. Tidak heran mobil dan rumah pun mampu dia beli. Terlebih dengan kemampuannya dalam berjejaring dalam dunia markeeting. Rasanya semua bidang pekerjaan bisa dia lakoni dalam waktu yang hampir bersamaan. Walaupun demikian, Chacha Binahati dan kedua putrinya tetap memilih bertahan tinggal bersama orang tua. Alasannya sederhana saja, ingin merawat mereka. Resikonya tentu saja mereka bertiga harus rela tidur satu kamar, yang semakin hari terasa menjadi sempit. Seiring bertambahnya usia putri-putrinya. Baru setelah kedua orang tuanya tiada dia pindah ke rumah yang dia diami sekarang ini. Di perumahan yang sejuk dan terpandang di bilangan Jakarta Selatan.
Cukup banyak pekerjaan yang pernah dia tekuni, dari perusahaan spa yang pertama di Jakarta, perusaan iklan, hingga terakhir di perusahaan IT yang memberikan layanan kepada perusahaan komunikasi besar di tanah air. Beberapa tahun belakangan ini dia memutuskan untuk rehat dan memulai berwiraswasta dengan salmanda plants yang menjual tanaman hias untuk kalangan menengah keatas.
Naik turunnya hidup juga dia pernah lalui. Tapi dia bersyukur ada orang tua terutama ayahnya yang selalu ada di dekatnya. “And from my parents I learnt that the most important things in life are hope, prayer, and enthusiasm for living”
Photo and Text by Ahmad Zamroni for Womankind Magazine, issue 24, 2020.