Mengenal ‘Street Photography’
“To me, photography is an art of observation. It’s about finding something interesting in an ordinary place… I’ve found it has little to do with the things you see and everything to do with the way you see them.”
– Elliott Erwitt
Saat kamera fotografi menjadi lebih begitu portabel dan mudah dalam mengoperasikannya, sebuah dunia baru terbuka untuk pecinta fotografi. Alat yang selama ini hanya banyak ditemui di studio-studio foto, kamera yang kemudian menjadi mudah dibawa-bawa ini, banyak merekam dunia luar. Sebuah spirit street photography telah lahir.
Sekarang, di era digital, dimana setiap orang begitu mudah membuat foto mendadak street photography mencuat kembali. Ditambah lagi munculnya devices yang begitu kompak macam iPhone yang mampu untuk selalu berada didekat kita, telah membuat para ‘penggila’ foto mendadak menjadi (‘mengaku’) street photographer. Mengabarkan apa yang mereka temui di jalanan.
Saya rasa, tidak ada definisi baku tentang street photography. Apabila anda bertanya ke beberapa orang yang mendalami genre ini tentu akan mendapat jawaban yang berbeda-beda. Beberapa street photographer akan mengatakan bahwa street photography itu adalah merekam emosi dan ekspresi orang, sementara yang lain barangkali akan menempatkan penekanan lebih pada lingkungan perkotaan. Namun saya berkeyakinan bahwa street photography yang berhasil adalah foto-foto yang mampu menangkap ekspresi manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan, untuk mendokumentasikan kondisi manusia tersebut kedalam gambar dua dimensi, yang dengan foto tersebut mampu menceritakannya pada pemirsa.
Pada umumnya street photography dilakukan dengan candid. Mengabadikan momen-momen yang kadang sangat spontan dan tidak bisa diprediksi juga bukan hasil rekayasa. Membiarkan adegan itu bermain, tanpa mengganggunya. Mungkin itulah uniknya genre yang sangat dekat dengan documentary photography ini.
Karena hal itu, selain kemampuan standar teknis photography macam focus, lighting, composition, seorang street photographer juga dituntut untuk mampu “become invisible”. Seperti cara kerja ‘ninja’ yang bisa menghilang dalam sebuah keramaian orang di pusat perkotaan. Anda ada, dan barangkali calon objek kita tahu keberadaan kita, namun objek tersebut serasa tidak peduli dengan kehadiran sang fotografer. Sehingga nantinya sang fotografer bisa mendapatkan gambar yang ‘natural’ atau bahkan mengejutkan karena tidak kita pikirkan sama sekali sebelumnya.
Aspek kedua adalah Telling Story. Foto “street” yang berhasil adalah foto yang ‘bercerita”. Membuat pemirsanya ingin tahu lebih banyak dari apa yang ada di dalam foto tersebut. Saya pikir seorang street photographer handal berada di lokasi pemotretan bukan hanya sekedar untuk mengambil gambar yang “cantik” saja. Namun lebih jauh sebenarnya sang fotografer tersebut ingin menceritakan sesuatu yang menurutnya begitu menarik melalui gambar-gambar yang dia rekam di jalanan.
Aspek ketiga adalah “involving viewer“. Banyak street photographer menggunakan lensa tele dalam merekam gambar. Namun sebagian besar street photographer hebat yang ada akan menggunakan lensa normal dan wide. memotret dengan lensa lebar membuat foto yang kita dapatkan terasa dekat dengan objek kita. Terasa begitu intim. Seakan mengajak dan membuat pemirsa menjadi bagian dari adegan tersebut.
Memang tidak dipungkiri genre ini bisa dibilang mudah dilakukan, dalam arti ada dalam keseharian kita saat melewati kawasan umum perkotaan semacam jalanan, taman kota, pantai, pertokoan, perkantoran, dan tempat lainnya. Cuma tinggal menunggu kejelian sang fotografer untuk merekam, membekukannya menjadi sebuah gambar yang menarik. (Ahmad Zamroni)
Just living is not enough. One must have sunshine, freedom, and a little flower Hans Christian Andersen http://t.co/9TQ1uwPhkc
— Ahmad zamRoni (@roni_az) September 9, 2013
#Kopi pagi tanpamu ☕…, hanyalah Fajar yg kusut… #KopiGombal pic.twitter.com/p8tOzCkhkC
— Ahmad zamRoni (@roni_az) September 6, 2013
Arif Z. Nurfauzan
Matur nuwun, Mas, wejangannya. I am interested.