Malam itu di bulan Agustus, 1997, berdua saya dan Kebo, sapaan buat teman saya Yoga Cahyadi, duduk kami bersantai di kawasan Pantai Parangtritis. Memandang dengan takjub sekaligus bangga di tebing sebelah barat kami, akan bendera Merah-Putih berukuran 30×20 meter yang terpasang di didinding tebing Parangendog.
“Njuk ngopo ki Bo”, celetuk saya untuk memecahkan hening yang ada.
“Yo wis ngene iki wae”, jawab dia sambil tertawa khas Kebo. Ada nada lepas juga sedikit nada sinis yang khas dipenghujungnya, sangat Kebo sekali.
Dan untuk beberapa lama kita hanya duduk terdiam, menikmati sebotol kecil ‘KTI’, minuman pengusir dingin, yang hanya itu kita temukan di sebuah warung yang sebenarnya sudah tutup. Sesekali kita mengumpat saat meminumnya karena rasanya yang ‘aneh’.
Bagi kita dan juga teman-teman pengurus Sekber Pencinta Alama Jogja (Sekber PPA DIY) waktu itu, mempersiapkan acara sertentak 17an di beberapa bidang macam hutan gunung, caving, panjat, arung jeram sungguh cukup menyita waktu dan tenaga. Dan mengibarkan bendera raksasa itu adalah ide Kebo yang bisa dibilang paling sulit. Tidak hanya secara teknis tapi juga soal dana dalam menyiapkan benderanya.
Kita sempat pusing saat menyiapkan budget untuk bendera. Bingung mau cari kain dimana yang bisa sesuai dengan anggaran yang ada. Namun bukan Kebo kalau tidak bisa menyelesaikan masalah ini.
“Wis aku mangkat Solo wae, nge-Bis”, begitu kira-kira, dan berangkatlah Dia ke Solo dan pulang ke Sekretariat kami di rumah Ito ‘Klepret’ dengan membawa beberapa ‘bal’ kain merah dan putih. Kalau dipikir sekarang rasanya tidak sebanding sekali antara selisih harga dan capek yang harus dibayar. Namun waktu itu puluhan ribu atau seratus ribu sangatlah berarti.
Namun masalah tidak selesai sampai disitu, mencari penjahit yang mau dibayar murah juga menjadi tantangan tersendiri. Namun akhirnya Kebo dan Klowor (STTL) bisa menemukan penjahit kecil yang mau membuatnya. Dan bisa dibayangkan repotnya penjait tersebut menyulam bendera besar tersebut di ruang 5×4 meter. Masih ingat ketika Kebo dan Klowor terkekeh-kekeh menceritakan mesin jahit, di tengah ruangan kecil diantara kain-kain bendera.
Dan setelah acara pengibaran sukses, kemudian kita ke tempat Moko (Bernas) untuk membuat release dan besoknya terbit di halaman Bernas dengan foto Merah-Putih yang dipasang cukup besar.
Barangkali momen 17an tersebutlah yang mendekatkan saya dengan seorang Kebo, juga teman-teman yang lain pengurus Sekber PPA DIY lainnya macam Klepret (STTL), Klowor(STTL), Gepeng (Palapsi), Saryoto (Mapagama), Ical (Gegama), Warno (Arwaga), Si Pey (Kapalasastra), Cemeng (Unisi), Amabar (Gitapala), Coli (Palawa), dll. Dan selama dua tahun tersebut Kebo ikut mewarnai banyak kegiatan karena ide-idenya, juga konsep-konsepnya yang sangat menarik dan sering memicu perdebatan cerdas diantara kita.
Photo by Puthut
Saya tidak ingat pasti kapan kenal dengan Kebo, tapi sepertinya juga di Parang Endog ketika dia yang juga masuk panitia Gladian Nasional XI yang diketuai ‘Sandal” Yudha, sedang mengadakan Latihan Gabungan, dan saya berkunjung dan berkenalan dengan seorang yang hitam dengan rambut gondrong ‘kriwil’. Berikutnya, kami kemudian beberapa kali ketemu dan ngobrol di sawit sari di rumah Peye, yang dijadikan Sekretariat Gladian Nasional.
Hari-hari berikutnya kedekatan kita semakin berlanjut, bukan hanya karena kegiatan-kegiatan Sekber yang mengharuskan kita untuk sering bertemu, namun juga dekatnya jarak rumahnya dan kontrakan saya di Pandega Marta. Ada masanya kita bisa dibilang setiap hari bertemu. Tidak hanya masalah kegiatan atau organisasi kita juga bisa saling berbagi cerita masalah-masalah pribadi. Saling ‘nyampah’ istilah kita dulu. Kalau bisa dibilang sebenarnya pola pikir kita sangat berbeda, namun justru hal tersebut yang membuat kita selalu rindu ‘ngecret’ berdua.
“Rasah ono kesimpulan, teko cangkeman wae, aku ki kongene kowe yo kongono, wisss…”, selalu kalimat macam itu yang muncul diakhir perdebatan kita.
Kemudian kalau terbukti omongan saya benar, dengan sportif dia akan bilangan, “Jingan, bener kowe su…”.
Kasar terdengar, tapi tidak buat kami. Banyak kita berbincang soal ‘cinta’ sampai berbuih-buih kadang mengutip sana-sini tp kita selalu rahasiakan sumbernya,… namun tetep aja ‘percintaan mahasiswa’ kita berantaka, hanya berbeda beberapa bulan saja.
Bukanlah Kebo kalau tidak haus beride. Kebo jugalah yang memimpikan ekspedisi bersama Mapala, karena cukup sulit untuk ukuran Yogyakarta kita kemudian menjajagi peluang untuk Mapala seluruh UGM. Dan ternayata itu itu cukup baik mendapat sambutan dari teman yang lain. Ical (Gegama), Badak (Setrajana), Saryoto + Toni (Mapagama), kemudian bergabung untuk mematangkan dan mempertajam rencana dengan yang lain. Walaupun pada akhirnya ekspedisi itu tidak terealisir namun setidaknya kita pernah mencoba.
Namun lain cerita dengan Kebo, dia malah berhasil mewujudkannya dengan Setrajana dengan ekspedisi karimunjawa yang kurang lebih mempunyai konsep yang hampir sama.
Setelah asik kita berkegiatan di mapala-mapala Jogja yang seakan membius saya, yang tersisa hanyalah masalah akademik yang berantakan. Bisa dibilang saya sangatlah jauh tertinggal dengan teman-teman seangkatan saya untuk urusan akademik, sks yang harus dipenuhi untuk kelulusan. Kebo pulalah yang menyemangati saya.
Hal yang masih saya ingat betul kata-kata dia: “kowe mesti iso, mboh piye carane… rasah ngurusi sekber terus wis ono sing ngurusi liane “.
Juga saat pertama kali bekerja, Kebo pulalah salah satu yang saya mintai pendapat, makan kita di sebuah warung di Pejompongan, dan dirimu banyak cerita sedikit soal kewartawanan karena kebetulan Kebo sedang ada proyek dengan AJI.
Begitulah, walaupun setelah itu kita tidak lagi bersama dalam satu berkegiatan, namun hari-hari selalu kita (barangkali saya) merindukan ngobrol berdua. Apabila ada kesempatan saat saya di Jogja selalu kita janjian bertemu. Saling tegur sapa baik lewat facebook. Kadang nge-tag kalau bikin puisi. Saling mention di twitter. Pendek kata kami selalu mencoba berkomunikasi. Bahkan ketika berencana memulai merintis usaha EO secara mandiri itu pun dia banyak bercerita.
Selalu, dengan optimisme khas dirimu. “Cah Nom je, mosok dibawah bayang wong liyo terus, kudu berbahaya…”, selalu begitu…
Membuatku selalu ingat akan kisah samurai tanpa tuan, yang sama-sama kita sukai, memilih jalan sunyi, jalan pedang..
“Yo wis Bo, kalau itu memang pilihanmu”,
Bo,yang selalu kuingat akan kamu adalah kamu selalu ada saat aku butuh teman bicara, namun sayang tidak sebaliknya…
Sedih memang dan aku tidak malu untuk meneteskan air mata untuk teman macam dirimu, dan seperti kamu bilang di akhir cakap-cakap kita yang terakhir :
ternyata kesedihan hanya alat Tuhan untuk membuat kita kembali sadar..
ternyata keyakinan dan semangat adalah satu-satunya tombak dan pedang untuk terus berjuang..
ternyata airmata harus menjadi bahan bakar mesin untuk berputar dan bergerak..