Top
The Beauty in Imperfection (Portraiture) | AZ's Blog
fade
139422
post-template-default,single,single-post,postid-139422,single-format-standard,eltd-core-1.2.1,flow-ver-1.7,,eltd-smooth-page-transitions,ajax,eltd-blog-installed,page-template-blog-standard,eltd-header-standard,eltd-fixed-on-scroll,eltd-default-mobile-header,eltd-sticky-up-mobile-header,eltd-dropdown-slide-from-bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.4.2,vc_responsive
AZ's Blog | Indonesia Photograher / Editorial  / The Beauty in Imperfection (Portraiture)

The Beauty in Imperfection (Portraiture)

Sebuah seri foto dengan pendekatan documentary-portrait, tentang para wirausahawan kecil atau ultra micro (UMi) kalau istilah Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Para pelaku usaha UMi yang pada umumnya unbankable tersebut, merupakan nasabah atau debitur yang mendapat manfaat nyata dari kinerja PIP, sebuah badan di bawah nauangan Kementrian Keuangan Indonesia.

Photo by Ahmad Zamroni © 2022

Dokumenter khususnya potret menjadi pendekatan yang saya pandang cukup menarik. Selain sifatnya familier, ‘semanak’, dan banyak dikenal oleh kalangan umum, sekaligus mudah dalam menikmatinya. Lebih dari itu, dengan metode ini saya mencoba membuat hal simpel dan sederhana, yang kadang terasa lugas mengekspresikan kerentanan, tak jauh beda dengan profil dari UMi ini.
The Beauty in imperfection, barangkali kalimat itu yang muncul dan kuat melekat dipikiran ketika mendiskusikan tentang UMi sekaligus konsep visualnya. Photo-treatment macam ini tentu bukanlah hal baru di dunia fotografi. Bahkan di dunia fashion photography yang terkenal ‘cantik’, banyak fotografer menggunakan treatment macam ini.

Photo by Ahmad Zamroni © 2022

Jauh sebelum itu semua, di Jepang, ada dikenal ‘wabi-sabi’, suatu konsep estetika yang menghargai keindahan yang sederhana, tidak sempurna, bahkan terkadang rusak. Sebuah konsep yang tak sengaja saya temukan, ketika menjali ibadah bertanam. Membayangkannya, seakan membuat saya terlepar di sebuah taman zen yang hening dan sederhana namun tak habis saya mengagumi keindahannya.
Di bidang seni rupa ada frasa ‘Art is always beautiful and it’s never pretty’, kutipan yang menunjukkan kompleksitas dan kedalaman makna terlepas dari bentuk atau gaya yang ditampilkan. Ini seperti ‘menggaris bawahi’ bahwa seni lebih dari sesuatu yang hanya menyenangkan secara visual namun juga sesuatu yang sangat berarti dan menyentuh kita pada tingkat yang lebih dalam. Beauty is the promise of happiness, but this didn’t get to the heart of the matter.

Aceng Sutiana, tukang pangkas rambut, Bogor.
Wendi, penjual tanaman hias, Bogor.


Dari dunia filsafat bahkan terasa lebih keras lagi. Ada pendapat dari ‘Zarathustra’ yang pernah saya baca dan berakhir pusing tentu saja, bahwa kesempurnaan itu sesungguhnya tidak ada. Ide kesempurnaan tak lebih hanyalah ilusi. Semacam hantu yang diciptakan sendiri oleh manusia dan mengejar kesempurnaan mengarahkan kepada kita ke sebuah absurditas dan penderitaan tiada akhir. Wuooghhhh, ngeri banget kan.
Namun bagi saya yang sedari kecil tinggal dengan orang tua yang cukup relijies, hal tersebut bukan hal baru. Berulang saya dengar bahwa kesempurnaan sejati hanya dimiliki oleh-Nya, dan sebaliknya manusia sebagai makhluk ciptaannya memiliki ketidaksempurnaan termasuk hawa nafsu.
Tak hanya itu tentu saja, di dunia asmara, teman saya pernah memberikan nasehat,”Mengapa harus mengejar kesempurnaan yang tak pasti jauh di ufuk, apabila ada di dekat terbaik.’ EEeeaaaa….

Mohammad Reza Maulidin pembuat kue, Jakarta.
listiyawati, pemilik warung nasi, Jakarta.

Dari sedikit pemikiran macam tersebut diatas kemudian saya memberanikan diri memberikan ide visual ini. Sebuah potret yang bisa dikatakan jauh dari ‘sempurna‘. Mencoba untuk sedikit jujur menangkap realitas yang ada. Hal yang mungkin terasa aneh dan mengadung resiko bagi sebuah korporasi. Dan saya beruntung mereka mau menerima konsep ini, yang sebenarnya sudah lama saya pikirkan dan juga kerjakan.

Revolusi digital telah banyak merubah kehidupan. Dunia visual apalagi, dengan membanjirnya visual yang hadir tiap hari tentu telah banyak merubah cara kita menikmatinya. Tak jarang kita pun terjebak dalam obesitas visual (visual infobesity), tidak sehat dan mengganggu kerja tubuh kita. Dan bisa jadi ‘di dunia tipu-tipu’ (istilah Kakak Yuna Yunita), khususnya di kehidupan digital, konsep visual macam ini bisa menjadi hal alternatif menarik sekaligus bermakna. Tak sekedar hanya membuat nyaman di mata.

Demikian adanya, semoga bisa bermanfaat. Nothing lasts, nothing is finished, and nothing is perfect.

No Comments

Post a Comment

})(jQuery)